DR. Drs. F.X. J. Kiatanto, didakwa melakukan pemalsuan merek
dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa, yaitu Holland Bakery. PT. MCR
adalah pemegang merek Holland Bakery yang terdapat gambar kincir angin, dan
terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 260637 dan telah
mendapat sertifikat merek pada tanggal 28 Juni 1990 untuk jenis barang/jasa
kelas produk 30, yaitu makanan, roti dan kue-kue. Sedangkan DR. Drs. F.X. J.
Kiatanto adalah pemilik merek Holland Bakery disertai gambar bunga tulip untuk
usaha jasa café/rumah makannya di Yogyakarta. Merek tersebut juga telah
terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 317559 dan telah
mendapat sertifikat merek pada tanggal 21 November 1994 untuk kelas barang/jasa
43, yaitu jasa-jasa di bidang penyediaan makanan dan minuman, bar, kedai kopi (café),
kafetaria, tempat makan yang menghidangkan kudapan (snack bar), warung kopi
(coffee shop), jasa boga rumah makan (catering), jasa ruang bersantai untuk
minum cocktail.
Mengetahui mereknya digunakan pihak lain, PT. MCR melaporkan
Kiatanto ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Yogyakarta memutuskan dalam Putusan No. 26/Pid.B/2002/PN.YK bahwa
terdakwa DR. Drs. FX Kiatanto terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melakukan pemalsuan merek dengan
meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa. Namun demikian Majelis Hakim
menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena itu
terdakwa, DR. Drs. FX Kiatanto dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.
26/PID.B/2000/PN.YK diputuskan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan, tetapi dinyatakan bukan sebagai tindak pidana sehingga dibebaskan
dari tuntutan hukum. Pendapat hakim tersebut dapat dipahami secara formal,
karena telah sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang. Akan tetapi hakim
telah mengabaikan suatu landasan penting dalam dunia usaha, yaitu kejujuran dan
‘itikad baik’. Sebenarnya seluruh bukti-bukti sudah dapat memberikan gambaran
adanya upaya peniruan tersebut, namun Majelis Hakim tetap mempertahankan
kebenaran format. Dalam Pasal 10 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa tiap
perbuatan yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial
matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Yurisprudensi
terkenal yang mengedepankan unsur adanya ‘itikad buruk’ seharusnya juga
dapat menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim, sebagaimana dalam perkara
merek Tancho.
Selain pada kasus merek Tancho maupun pada merek Playboy,
keduanya hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh kasus pembajakan merek.
Para pendaftar (pembajak) merek tersebut jelas tidak memiliki itikad baik dalam
mendaftarkan merek. Tujuan pendaftaran tersebut tidak lain adalah untuk
mendompleng ketenaran merek yang sudah terkenal. Memang, perlindungan merek
pada prinsipnya bersifat teritorial meski demikian bukan berarti bahwa tidak
ada lagi perlindungan bagi pemilik merek yang sebenarnya. Keputusan Mahkamah
Agung tersebut untuk memenangkan kasus Tancho adalah hal yang sangat tepat dan
merupakan terobosan baru dalam perlindungan merek karena telah sesuai dengan
Pasal 4 UU Merek , yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar Permohonan
yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak
http://www.geschool.net/845718/blog/post/kasus-terbaru-yang-berkaitan-dengan-haki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar